GOSIPGARUT.ID — Kejaksaan Negeri (Kejari) Garut menyalurkan pembayaran restitusi sebesar Rp106,3 juta kepada lima korban tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan oleh oknum dokter kandungan spesialis obstetri dan ginekologi, Muhammad Syafril Firdaus (MSF) alias Iril.
Pembayaran restitusi ini menjadi bagian dari upaya negara memulihkan hak-hak korban kejahatan seksual, yang selama ini sering luput dari perhatian publik.
“Teknis pembayaran restitusi dilakukan secara transfer ke rekening masing-masing korban agar jumlahnya sesuai hasil penilaian dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Tidak boleh kurang atau lebih, bahkan satu rupiah pun,” ujar Kepala Kejari Garut Helena Octavianne, Selasa (28/10/2025).
Berdasarkan data dari LPSK, total restitusi yang disalurkan mencapai Rp106.335.796. Adapun pembagian dana untuk lima korban adalah sebagai berikut:
DS (Rp28.700.000); AED (Rp14.880.256); APN (Rp19.650.540); AI (Rp30.766.000); dan ES (Rp12.339.000).
Pemulihan, Bukan Sekadar Hukuman
Helena menjelaskan, restitusi bukan hanya soal uang ganti rugi, tetapi bentuk pemulihan martabat dan hak korban atas trauma panjang akibat kekerasan seksual.
“Korban mengalami luka psikis yang dalam, bahkan ada yang terdampak secara fisik dan sosial. Restitusi adalah bagian kecil dari upaya pemulihan, agar mereka tidak merasa sendirian dalam memperjuangkan keadilan,” jelasnya.
Menurut Helena, sistem hukum selama ini seringkali hanya fokus memenjarakan pelaku, namun lupa memastikan korban mendapatkan pemulihan yang layak. Ia menegaskan, semangat Sumpah Pemuda menjadi pengingat penting bagi aparat penegak hukum untuk terus berpihak pada korban, khususnya perempuan dan anak.
Sejalan dengan Amanat UU TPKS
Sebelumnya, pada 21 Agustus 2025, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Garut telah menuntut terpidana MSF membayar restitusi sesuai hasil penilaian LPSK. Kemudian, Pengadilan Negeri Garut melalui putusan 2 Oktober 2025 mengabulkan tuntutan tersebut dan mewajibkan MSF membayar seluruh restitusi kepada para korban.
Putusan ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang menegaskan pentingnya restitusi sebagai bentuk keadilan restoratif bagi korban.
“Restitusi bukan sekadar ganti rugi. Ini adalah pemulihan harkat dan martabat korban yang selama ini direnggut oleh pelaku,” tegas Helena.
Langkah Kejari Garut ini mendapat apresiasi dari berbagai pihak, karena menjadi contoh nyata bagaimana sistem peradilan tidak hanya menghukum pelaku, tetapi juga memberikan ruang keadilan bagi korban untuk bangkit kembali. ***

.png)











