MEMBACA berita Anwar Usman yang terpilih kembali menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2023-2028, saya sedikit kaget. Tentu yang terlintas di benak saya, apakah tidak ada lagi selain dia, dan apakah para hakim anggota tidak pernah mendengar, membaca, atau melihat kegelisahan, kewas-wasan, serta kecurigaan dari masyarakat karena adanya hubungan keluarga antra Anwar Usman yang kini menjadi adik ipar Presiden Joko Widodo (Jokowi)
Padahal rasa “was-was” masyarakat pada sosok Anwar Usman itu merupakan hal yang sangat wajar dan tepat jika dijadikan salah satu pertimbangan.
Lembaga kehakiman, baik itu Mahkamah Agung (MA) atau MK, adalah lembaga negara yang sekaligus dijadikan identitas inti negara Indonesia yang menyatakan sebagai negara hukum. Namun kenapa sampai-sampainya nalar para hakim anggota tidak mampu menempatkan kondisi psikologis dan sosiologis masyarakatnya sebagai pertimbangan.
Bukankah mereka belajar teori “sociologische grondslag” sebagai teori hukum yang menyatakan bahwa salah satu landasan membuat suatu keputusan atau undang-undang adalah aspirasi, nilai, norma, dan keyakianan masyarkatnya.
Apalagi Jika melihat pasal 24 ayat 1 UUD 1945, yang menyatakan: “Tidak ada satu ketentuan yang membatasi kebebasan kekuasaan kehakiman.” Dapat dipahami bahwa menjaga lembaga kehakiman agar senantiasa bebas dalam menentukan keadilan itu wajib diwujudkan. Dan secara otomatis setiap yang memungkinkan dapat memunculkan terjadinya suatu keputusan yang tidak adil dan tidak objektif, wajib dihindari.
Tentu salah satunya adalah semisal adanya hubungan kekeluargaan dan atau politik dinasti antara seorang hakim dan penguasa.
Bukankah MK sendiri yang telah menyatakan penolakan, dengan membatalkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK. Yang salah satu isinya MK merupakan lembaga kehakiman yang bebas, tidak bisa ditekan lembaga apapun dan bahkan menolak diawasi Majelis Kehormatan Hakim.
Namun sayang, kebebasan dalam menetapkan keadilan hukum itu akan dicitrai masyarakat terbalik, jika nyatanya ketua MK sendiri berstatus sebagai bagian keluarga inti presiden Jokowi. Sangat wajar jika masyarakat menilai hal tersebut sangat potensial adanya konflik kepentingan.
Lebih khusus jika kita mencermati Undang-undang Kekuasaan Kehakiman, yang dihimpun Mahkamah Agung RI tahun 1992, yang merujuk pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana Militer.
Dinyatakan, bahwa menurut Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 1985, “Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari suatu persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau isteri meskipun sudah bercerai dengan salah seorang hakim anggota atau panitera”.
Dan menurut ayat terakhir dalam pasal 41, “Apabila tidak diganti atau tidak mengundurkan diri sedangkan perkara telah diputus, maka putusan tersebut batal dan perkara tersebut wajib segera diadili ulang dengan susunan majelis yang lain”.
Selanjutnya dalam pasal 42, “Seorang hakim tidak diperkenankan mengadili suatu perkara yang ia sendiri berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung. Hakim yang bersangkutan wajib mengundurkan diri baik atas kehendak sendiri maupun atas permintaan penuntut umum, oditur militer, terdakwa, penasihat hukum, tergugat atau penggugat.
Pertanyaan saya, kenapa aturan kehakiman begitu standard ganda? Maka jika hakim MA dilarang mengadili pencuri ayam yang kebetulan memilki hubungan keluarga denganya, kenapa hakim MK bahkan ketua MK dibebaskan mengadili suatu undang-undang, padahal posisinya terikat hubungan keluarga dengan aktor inti undang-undang tersebut yaitu presiden.
Bagaimna jika presiden Jokowi tidak setuju, atau memeliki keberpihakan pada keputusan tertentu semisal dalam menguji hasil pemilu, masa jabatan presiden dan atau hal lain yang jelas terkait pada kepentingan kekuasaannya dan kelompok politiknya. Bukankah risiko “conflict of interest” akan jauh lebih tinggi dibanding hakim MA yang dilarang mengadili keluarganya dalam persolan pelanggaran pidana atau perdata?
Sekali lagi, saya ingin mempertanyakan soal dasar-dasar logika hukum itu. Kenapa risiko kecil dihindari sementara sesuatu yang menyangkut nasib undang-undang, pemerintahan, demokrasi, dan negara malah diabaikan?
Kenapa negara begitu etis, moralis, dan hati-hati dalam mengadili pencoleng, sementra di sisi lain melakukan pembiaran pada ketua MK yang padahal keputusannya jauh berefek sistemik pada nasib bangsa dan negara? ***