Oleh: Galih F.Qurbany (Pengamat Kebijakan Strategis, PAKIS)
GAGASAN untuk menciptakan daerah bebas pengemis dan pengamen di Kabupaten Garut berawal dari inisiatif Wakil Bupati, Drg. Hj. Lutfianisa Putri Karlina, MBA, yang mengusulkan penertiban di kawasan kuliner Ceplak, Jalan Siliwangi, yang merupakan pusat kuliner legendaris Garut. Langkah ini diambil untuk meningkatkan kenyamanan pengunjung dan menjaga estetika kawasan wisata kuliner.
Namun, efek samping yang muncul adalah pengemis dan pengamen tidak serta-merta hilang, melainkan menyebar ke pusat keramaian lain, seperti alun-alun, pasar, serta area publik lainnya. Ini menunjukkan bahwa solusi berbasis wilayah tanpa pendekatan struktural yang lebih luas hanya akan memindahkan masalah, bukan menyelesaikannya.
Oleh karena itu, diperlukan strategi yang lebih sistematis dan berkelanjutan, dengan melibatkan pemerintah desa sebagai ujung tombak dalam pencegahan dan pemberdayaan masyarakat rentan.
Fenomena pengemis, pengamen, dan pekerja seks komersial (PSK) bukan sekadar persoalan individu, tetapi juga merupakan gejala sosial yang mencerminkan kesenjangan ekonomi, lemahnya sistem perlindungan sosial, dan kurangnya kesempatan kerja yang layak. Keberadaan mereka sering dianggap mengganggu ketertiban umum, merusak estetika kota, dan dalam beberapa kasus melibatkan eksploitasi oleh sindikat yang lebih besar.
Upaya penertiban sering kali hanya bersifat represif melalui razia oleh Satpol PP dan kepolisian, tanpa menyentuh akar masalah. Padahal, solusi berkelanjutan memerlukan pendekatan yang lebih komprehensif, di mana aparat desa memiliki peran strategis dalam mencegah dan menanggulangi permasalahan ini dari tingkat paling dasar.
Sebagai unit pemerintahan terdekat dengan masyarakat, pemerintah desa memiliki potensi besar sebagai garda terdepan dalam mengatasi permasalahan sosial ini. Berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, pemerintah desa memiliki kewenangan dalam pembangunan dan pemberdayaan masyarakat, yang dapat dimanfaatkan untuk mencegah praktik mengemis, mengamen, atau prostitusi berkembang di lingkungannya.
Dengan melakukan pendataan yang akurat, aparat desa dapat mengidentifikasi siapa saja warga yang terlibat dalam aktivitas ini, memahami motif di baliknya, serta menyusun program intervensi berbasis sosial dan ekonomi yang lebih manusiawi.
Namun, ada batasan yang harus dipahami. Penertiban langsung terhadap pengemis, pengamen, dan PSK bukanlah kewenangan pemerintah desa. Fungsi penegakan hukum dan penindakan berada di bawah Satpol PP dan kepolisian, terutama jika menyangkut eksploitasi anak, perdagangan manusia, atau pelanggaran pidana lainnya. Pemerintah desa tidak bisa melakukan razia atau tindakan represif, tetapi dapat berperan dalam pencegahan melalui sosialisasi, edukasi, dan program pemberdayaan.
Pemanfaatan Dana Desa menjadi instrumen yang dapat mendukung upaya ini. Berdasarkan Permendesa PDTT No. 13 Tahun 2020, Dana Desa dapat digunakan untuk program pemberdayaan ekonomi dan sosial, termasuk memberikan pelatihan keterampilan bagi eks-pengemis dan PSK, membuka lapangan kerja melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), serta memberikan bantuan sosial yang terarah bagi kelompok rentan agar tidak terjebak dalam praktik-praktik yang merugikan mereka sendiri maupun lingkungan sekitarnya.
Jika program ini dilakukan secara serempak di berbagai desa, maka dapat mengurangi arus migrasi pengemis dan PSK ke kota-kota besar, yang selama ini menjadi persoalan berulang tanpa solusi nyata.
Pemerintah desa juga tidak bisa bekerja sendiri. Ketika permasalahan menjadi lebih kompleks, seperti adanya sindikat eksploitasi anak atau perdagangan manusia, keterbatasan anggaran, atau kurangnya fasilitas pendukung, maka pemerintah desa harus melakukan koordinasi dan tindak lanjut kepada instansi yang lebih kompeten.
Dalam hal ini, kolaborasi antara pemerintah desa dengan dinas sosial, Satpol PP, Dinas Tenaga Kerja, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), kepolisian, dan kejaksaan menjadi sangat penting.
Dinas Sosial, misalnya, memiliki peran utama dalam rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi pengemis dan PSK. Mereka dapat menyediakan program pelatihan keterampilan, bimbingan psikososial, serta akses ke bantuan sosial yang lebih terarah.
Satpol PP, di sisi lain, bertanggung jawab dalam menertibkan dan menindak pelanggaran terhadap ketertiban umum, tetapi tetap harus bekerja sama dengan desa agar tindakan yang diambil tidak hanya bersifat represif.
Dinas Tenaga Kerja dapat menjadi solusi dalam menyediakan peluang kerja yang lebih layak, sementara P2TP2A dapat memberikan perlindungan bagi perempuan dan anak yang menjadi korban eksploitasi.
Dari perspektif sosial, permasalahan ini dapat dijelaskan melalui Teori Strain yang dikemukakan oleh Robert K. Merton. Menurut teori ini, individu yang tidak memiliki akses terhadap sarana yang sah untuk mencapai tujuan hidup yang diinginkan cenderung mencari alternatif lain, termasuk dengan cara-cara yang dianggap menyimpang.
Dalam konteks ini, kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, dan kurangnya kesempatan kerja menjadi faktor utama yang mendorong seseorang untuk mengemis, mengamen, atau bekerja sebagai PSK. Oleh karena itu, solusi yang tepat bukan sekadar melakukan penindakan, tetapi juga memastikan adanya akses yang lebih luas terhadap peluang ekonomi yang sah dan bermartabat.
Selain itu, pendekatan sosial berbasis komunitas harus diperkuat. Aparat desa harus berperan aktif dalam mengubah pola pikir masyarakat agar tidak memberikan uang kepada pengemis di jalanan, melainkan menyalurkan bantuan melalui mekanisme yang lebih terorganisir, seperti lembaga sosial atau program bantuan berbasis desa. Dengan demikian, budaya ketergantungan dapat dikurangi, dan individu yang selama ini hidup dengan cara mengemis dapat terdorong untuk mencari solusi yang lebih produktif.
Penanganan terhadap PSK juga memerlukan langkah khusus. Banyak dari mereka yang masuk ke dunia prostitusi bukan karena pilihan bebas, tetapi karena keterpaksaan ekonomi atau jeratan sindikat perdagangan manusia.
Pemerintah desa harus berperan dalam memberikan edukasi tentang bahaya eksploitasi seksual, serta bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk menyediakan layanan rehabilitasi dan perlindungan bagi mereka yang ingin keluar dari dunia prostitusi. Program pelatihan keterampilan, pendampingan psikososial, serta bantuan ekonomi dapat menjadi solusi yang lebih efektif dibanding sekadar razia atau pengusiran.
Pada akhirnya, upaya penertiban pengemis, pengamen, dan PSK harus dilakukan dengan keseimbangan antara pendekatan hukum dan pendekatan sosial. Pemerintah desa tidak bisa bekerja sendiri, tetapi harus berkolaborasi dengan dinas sosial, kepolisian, organisasi keagamaan, serta lembaga swadaya masyarakat untuk menciptakan sistem yang lebih adil dan manusiawi.
Dengan strategi yang tepat, bukan hanya ketertiban umum yang terjaga, tetapi juga martabat setiap individu yang terlibat dalam permasalahan ini dapat dipulihkan, menuju masyarakat yang lebih sejahtera dan berdaya. ***