Opini

Gibran Fenomenal, Fenomena Gibran (Catatan: Asep Lukman Abu Arkansya)

×

Gibran Fenomenal, Fenomena Gibran (Catatan: Asep Lukman Abu Arkansya)

Sebarkan artikel ini
Gibran Rakabuming Raka. (Foto: Istimewa)

BICARA tentang Gibran Rakabuming Raka, memang jika dilihat dari katagori usia, Gibran adalah wakil kaum muda dalam politik elektoral. Tapi lebih dari sekedar pembahasan tentang individu, saya ingin menempatkan Gibran sebagai pristiwa dan fenomena yang wajib dibaca dengan seksama. Dalam prespektif fenomena, gibran adalah gambaran masyarakat independen atau masyarakat “pos idologi” dalam politik praktis Indonesia.

Istilah ini tertuju bagi umumnya masyarakat Indonesia yang sama-sama mimiliki komitmen kebangsaan, namun enggan terlibat pada dendam polemik idilologi masa lalu. Selain itu, mereka adalah masyarakat yang tidak memiliki panatisme berlebih pada organisasi agama, sekte-sekte politik, serta lepas dari feodalisme ketokohan.

Namun nyatanya, masyarakat yang digolongkan sebagai masyarakat “pos idiologi” ini secara kuantitas kini menempati jumlah mayoritas. Dalam wacana politik praktis, masyarkat ini sering disebut sebagai kelompok swing voters atau masa cair, yang umumnya mereka memilih partai dan tokoh dengan argumentasi yang bersifat teknis namun independen. Mereka tidak sibuk mempertanyakan terkait asal-usul akademik tokoh yang akan dipilihnya, apalagi mempertimbangkan riwayat genetika, mazhab agama, aliran partai politik, identitas etnis dan isme idiologi.

Karakteria calon yang mereka pilih adalah orang yang menurut mereka memiliki integritas dan kompetensi yang cukup sekaligus berpenampilan menarik, dan terutama memiliki opportunity kemenangan serta memiliki keberanian melakukan terobosan.

Masyarakat ini pun tidak terprovokasi oleh cerita sejarah para calon presiden dan wakil presiden yang konon sejak dulu diaktori orang-orang yang menyandang citra tokoh idologi dan atau setidak-tidaknya terlahir dari ekosistem politik yang berbasis ideologi. Entah dia yang diasosiasikan sebagai tokoh idologi relegi, dan atau yang sekuler.

Baca Juga:   Capres/Cawapres Prabowo dan Sandiaga Uno Temui Pendukungnya di Garut

Namun kini, dengan munculnya Gibran Fenomenal, bisa disebut pristiwa nyata dari
eksisnya kaum “pos idiologis” yang hidup di zaman pasca idiologi konservatif. Yang ciri-ciri kepemimpinannya senantiasa berfokus pada perubahan teknis semisal inovatif, modern, menguntungkan, mudah, cepat-tanggap, terbuka, dan tak terkecuali estetik atau keren.

Mungkin bagi sebagian orang pengikut idiologi lama dan atau yang terpapar romantisme pada isme-isme di masa lalu, akan memandang Gibran fenomenal ini sebagai era kepemimpinan non substantif, minim rekam jejak, dan a historis.

Khususnya para ektrimis penganut idiologi lama itu kerap menilai orang lain yang berbeda adalah musuhnya. Karena rasa anti pati, mereka lupa dengan ciri-ciri azali manusia jika setiap manusia pasti dibekali akal dan rasa dari sang pencipta.

Namun karena diliputi fanatisme dan eklusifisme, baik yang terjadi di dalam atau luar negri, mereka acap kali mengira bahwa individu yang berada di luar penganut idiologinya seolah manusia jahat. Padahal jika menilik hukum fitrah, terlampau mustahil jika ada seorang pemimpin manusia, apapun latar belakangnya memiliki cita-cita ingin gagal, dan bangkrut dalam memimpin orang-orang di bawahnya.

Fenomena Gibran

Kembali pada prespektif fenomena. Sesunggunya Gibran adalah prodak zaman, yang suka atau tidak suka, disengaja atau tidak disengaja, pada akhirnya akan tetap hadir sebagai bagian yang tak terpisahakan dalam interaksi sosial politik bangsa.

Baca Juga:   Romahurmuziy, Layu Sebelum Barkembang (Catatan: Imron Abdul Rajak)

Sebenarnya secara historis, mereka yang yang dikatagorikan masyarakat idependen itu embrionya sudah lebih dahulu lahir di berbagai negara. Bukankah sejak dulu, Banyak bangsa yang mimilih calon pemimpinya adalah orang yang berada di garis berbeda dengan tradisi klasik para pendahulunya.

Karena itu, istilah terobosan pun hadir sebagai akselarasi perjalanan peradaban manusia. Sekalipun di waktu kelahirannya selalu saja diiringi sikap “under estimete” dari banyak orang khususnya para elit lama.

Tak terkecuali Gibran Fenomenal. Padahal meskipun disebut terobosan, Gibran Fenomenal sama sekali bukanlah jalan kekerasan. Di belakangnya ada dorongan hukum alam yang disebut arus tuntutan zaman, selain berpotensi menjadikanya sebagai pemenang, Gibran Fenomenal pun berpotensi jadi pemicu munculnya arah baru perjalanan negara dan bangsa di masa depan.

Penting saya tegaskan, bahwa yang saya maksud dalam pembahsan ini bukan Gibran sebagai individu yang kini menjadi calon wakil presiden, tapi Gibran sebagai peristiwa politik juga simbol dari pikiran, gaya dan budaya masyarkat “posidiologi indonesia”. Masyarakat yang bukan hanya secara kuantitas lebih besar jumlahnya dibanding anggota partai manapun. Tapi juga masyarakat yang bebas aktif dan tidak memiliki keberpihakan politik secara permanen. Yang padahal kelompok masyarakat ini biasanya hanya dijadikan bahan rebutan kelompok politik, dan tokoh ormas ketika waktu menjelang pemilu. Karena sekali lagi jumlah mereka adalah penentu.

Baca Juga:   Capres Unggulan 2024, Prabowo Subianto -- Ganjar Pranowo Saling Berebut Posisi

Dan tahu kah kita, bahwa masyarakat bebas aktif, independen juga non partisan itu dominan diisi generasi muda indonesia, mereka yang umumnya lebih suka berinteraksi dengan teknologi, aktif mengerjakan hal yang nyata, sikapnya idenpenden juga anti kerumitan atas nama administrasi dan birokrasi.

Budaya kaum muda yang substantif, inovatif namun staylis itu, menurut saya hakikatnya adalah bentuk perlawanan alamiah terhadap tradisi lama yang diktator, formalitas, lamban, dan berbelit-belit.

Maka sudah menjadi hukum alam, jika suatu perlawanan pada giliranya sering mendapat kesempatan emasnya. Dan kini bisa saja disebut “gayung bersambut” ketika ada diantara anak muda semisal Gibran Rakabuming Raka yang tampil menjadi calon pemimpin bangsa. Dan tidak menutup kemungkinan respon positif dari kaum muda pun akan otomatis aktif alamiah tanpa rapat tanpa perintah.

Gerakan kaum muda itu masif meski tidak berkerumun ria atau sorak soranda dalam luapan eforia. Karena kaum muda Indonesia tidak seperti kelompok idiologis klasik yang menggemari basa-basi, seremonial, jampe-jampe, simbol dan warna. mereka bukan buih yang hanya ada di permukaan, sekalipun diantara mereka lebih banyak “silent voters”, namun jika mereka solid volume dan energinya cukup dahsyat untuk memberi legitimasi bagi kemenangan. ***

(Penulis, aktivis dan pemerhati sosial politik)


Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News, WhatsApp Channel dan Telegram Channel
Konten berbayar berikut adalah iklan platform Recreativ, Mixadvert, dan MGID. Gosipgarut.id tidak terkait dengan materi konten ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *