Ironi Reshuffle Kabinet Jokowi (Oleh: Asep Lukman)

KALAU boleh jujur, reshuffle adalah bukti ironis seorang presiden yang konon katanya ahli dalam bekerja hingga dipercaya oleh rakyat untuk mengemban amanah, ternyata malah gagal dalam memilih para pembantunya dalam menjalankan tugas. Perlu diketahui bahwa kasus demikian bukan merujuk hanya untuk negara kita saja.
Reshuffle secara alamiah pasti akan selalu terjadi dalam cerita semua rezim. Kenapa? Karena hal itu memang selalu seiring dengan rasa ketidak puasan masyarakat pada kinerja pemerintah. Karena setiap rezim pasti akan selalu ada kegagalan khususnya dalam memenuhi janji siap sejahterakan masyarakatnya.

Di samping reshuffle adalah langkah penyegaran politik, reshuffle juga bisa dijadikan stategi untuk menyulap mata msyarakat agar mereka kembali menaruh harapan yang baik pada kinerja pemerintah. Langkah ini sedikit bisa menyelamatkan posisi rezim dari ancaman reaksi sosial yang menuntut pembubaran atau kudeta.
Artinya, reshuffle hanya ritual poltik yang diberi narasi “upaya untuk memperbaiki kondisi ekonomi yang kian murat-marit” meski sebenarnya kadang hanya demi memperjuangkan eksistensi rezim agar bisa terjaga dan berumur panjang.
Namun sekarang ini kebijakan reshuffle diucapakan para penyair, konon katanya sebagai langkah maha solutif demi memecahkan berbagai masalah bangsa.
Pertanyaannya, jika faktanya salah apakah tidak akan membuat kondisi makin parah?
Terus terang, menurut pandangan pribadi saya, seribu kali pun reshuffle masalah tetap tidak akan selesai sebab akar masalahnya sama sekali bukanlah hal itu. Yang terjadi rakyat malah semakin bertambah bingung sebab “ego personal” para pejabat baru pasti hobi mengubah-ubah kebijakan.
Namun pandangan saya tentu berbeda dengan semua ahli sya’ir yang memang seolah optimis, membual seakan-akan reshuffle segala-galanya yang bisa merubah keadaan menjadi baik. Mungkin mereka mengira rakyat dapat terpikat oleh gubahan-gubahan sya’irnya.
Entah apa yang ada dalam benak-benaknya, hingga tidak sungkan dan tidak malu melontarkan pernyataan seperti itu. Tanpa sadar kompleksitas masalah yang terjadi saat ini mustahil dapat diatasi oleh digantinya 1-2 mentri baru dan jika saja semua mentri diganti seklipun masalah tetap jauh untuk bisa selesai.
Sebagai bukti, pergantian pejabat itu nyatanya tidak bisa sekedar mengubah kebiasaan lama mereka yang gemar mengkambing hitamkan bencana alam dalam menutupi kegagalannya, semisal pada virus corona, banjir, longsor, kebakaran, gempa bumi, dan lain-lain. Padahal faktanya, jauh sebelum berbagai musibah terjadi pun setumpuk PR sudah menjelma di depan mata yang satu pun tidak ada yang tuntas bisa teratasi.
Para pejabat baik yang lama atau yang sekarang rupanya sama-sama amnesia tentang aktivitas hukum kausalitas, bahwa sangat mustahil bencana terjadi “tanpa sebab” selain karena pasti diundang oleh kesalahan manusia juga.
Apa argumentasinya, jika bencana alam disebut murni inisiatif tuhan yang maha kuasa, lalu atas dasar kebencian macam apa jika tuhan ujug-ujug menimpakan azab tanpa alasan, dan apa untungnya bagi tuhan melakukan hal demikian. ***
Comment