GOSIPGARUT.ID — Ketua Harian Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jawa Barat, Entang Sastraatmadja, mengatakan bagi perjalanan pembangunan pertanian di Indonesia, kehadiran dan keberadaan para penyuluh pertanian, memiliki makna yang sangat penting. Para penyuluh pertanian inilah yang ikut serta menorehlan tinta emas pencapaian swasembada beras tahun 1984.
Berkiprah bersama para peneliti pertanian dan petani, penyuluh pertanian mampu meningkatkan produksi dan produktivitas hasil pertanian, yang membuat Indonesia mampu meraih swasembada beras. Padahal, dalam tahun-tahun sebelumnya, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara pengimpor beras yang cukup besar di dunia.
Sayang, kisah sukses swasembada beras yang kita capai, barulah swasembada beras “on trend”, bukan swasembada beras berkelanjuran. Akibatnya, beberapa tahun setelah proklamasi swasembada beras tersebut, kembali Indonesia jadi importir beras kembali. Nama ya juga “on trend”. Kadang produksi meninfkat, namun kadang pula menurun.
Apa yang kita alami 40 tahun silam, rupanya terjadi pula di tahun 2022 lalu. Setelah dengan bangganya pemerintah mendapat penghargaan internasional dari lembaga riset dunia sekaliber International Rice Reasearch Institute (IRRI), ternyata beberapa waktu kemudian Indonesia lagi-lagi harus menempuh impor beras dengan angka cukup signifikan.
Langkah ini terpaksa ditempuh, karena pemerintah tampak kedodoran dalam menggenjot produksi beras, karena adanya iklim ekstrim yang telat diantisipasi. Pemerintah butuh tambahan beras, karena produksi beras para petani di dalam negeri, tidak mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri, khususnya untuk memenuhi cadangan beras pemerintah.
Lebih gawat lagi ternyata situasi ini terus berlanjut sampai sekarang. Untuk tahun 2024, pemerintah terpaksa harus merencanakan impor beras dengan angka cukup besar yakni menembus angka 5 juta ton. Menurut catatan para pengamat, jumlah sebesar 5 juta ton merupakan perencanaan impor yang cukup besar dalam sejarah impor beras di begara kita.
Suasana ini tercipta, karena terjadinya sergapan El Nino yang membuat panen padi banyak mengalami kegagalan, di samping faktor lain yang membuat produksi beras anjlok dengan angka cukup signifikan. Menurut keterangan pemerintah gagal panen yang terjadi di banyak daerah, berkisar antara 380 ribu ton hingga 1,2 juta ton beras.
Dari sekian banyak faktor penyebab turunnya produksi beras, selain biang keroknya karena adanya El Nino, ternyata kurangnya jumlah tenaga penyuluh pertanian, menjadi faktor penting melorotnya produksi beras. Hal ini, sebetulnya telah disadari cukup lama oleh pemerintah. Sayang, sebagai jalan keluarnya, pemerintah terbilang lambat menanganinya.
Petugas penyuluh pertanian semakin terbatas jumlahnya, mengingat banyak dari mereka yang pensiun. Sedangkan rekruitmen tenaga penyuluh pertanian baru, hampir jarang dilakukan. Resikonya, regenerasi penyuluh pertanian pun tidak sesuai dengan yang diharapkan. Lebih sedih lagi, tidak semua kepala daerah mengerti urgensi penyuluhan pertanian di lapangan.
Akibatnya wajar jika dari berbagai daerah, kita sering mendengar aspirasi yang menginginkan agar status kepegawaian penyuluh pertanian dikembalikan lagi menjadi aparat pemerintah pusat dan tidak lagi jadi aparat daerah. Harapan ini sah-sah saja untuk disampaikan, mengingat ada kepala daerah yang tidak peduli terhadap kegiatan penyuluhan pertanian.
Pentingnya keberadaan penyuluh pertanian dalam mencapai swasembada pangan, jelas sudah kita pahami bersama. Kemauan politik Kabinet Merah Putih bentukan Presiden Prabowo Subianto untuk menggapai swasembada pangab, pasti bukan hanya sekedar omon-omon. Namun, dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, harus sudah dapat diwujudkan.
Kata kunci swasembada pangan adalah terciptanya produksi pangan setinggi-tungginya disertai dengan semakin membaiknya kesejahteraan petaninya. Artinya, menjadi hal yang sangat keliru, jika ukuran sukses swasembada pangan, hanya dinilai dari terjadinya produksi pangan yang melimpah ruah, namun nasib dan kehidupan petaninya terekam masih terjebak dalam kemelaratan.
Untuk itu, kalau cita-cita swasembada pangan yang ingin diraih adalah melimpahnya produksi pangan sekaligus meningkatnya kesejahteraan petaninya, maka tugas itu sebetulnya berada di pundak para penyuluh pertanian. Ini perlu diingat, karena tugas penyuluh pertanian adalah meningkatkan produksi dan produktivitas juga meningkatkan kesejahteraan petaninya.
Agar semangat ini dapat ditempuh, maka sedini mungkin, kita harus siapkan strategi pencapaian swasembada pangan yang mensejahterakan kehidupan petaninya. Dengan demikian ada dua tugas penting yang harus dilakukan, yakni menggenjot produksi dan meningkatkan produktivitas, dan kedua adalah meningkatkan kesejahteraan petaninya.
Dalam kaitan ini, penting dipahami dengan seksama, meningkatkatnya produksi pangan cukup tinggi dan berlimpah, tidak menjamin kesejahteraan petaninya otomatis meningkat. Atau bisa juga dikatakan, apalah artinya produksi yang melonjak, jika harga jualnya di pasar anjlok cukup signifikan. Boro-boro untung, yang terjadi malah buntung.
“Saat inilah perjuangan penyuluh pertanian, benar-benar sangat dimintakan. Maju terus penyuluh pertanian,” pungkas Entang. ***