KETIKA sedang melakukan anjangsono ke rumah petani di Kabupaten Garut, Jawa Barat, penulis sempat diskusi cukup intens dengan beberapa petani padi. Mulai dari soal keengganan kaum muda perdesaan untuk berprofesi sebagai petani padi, hingga penilaian petani terhadap para penyuluh pertanian yang lebih senang berada di kantor, ketimbang bertemu dengan para petani di lapangan.
Soal menurunnya animo kaum muda untuk menjadi petani padi, sebetulnya bukan hal baru dalam dunia pertanian di negeri ini. Sejak tahun 1980-an, gejala ini telah berkembang dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat di negeri ini. Artinya, lebih dari 40 tahun silam, fenomena kaum muda tidak tertarik jadi petani padi, memang telah terjadi.
Ketidak-tertarikan kaum muda untuk berprofesi sebagai petani padi, sebetulnya dapat kita pahami. Bukan saja sekarang menjadi petani padi identik dengan memasuki kehidupan yang penuh dengan kondisi miskin dan melarat, namun jadi petani padi saat ini, dianggap sebagai profesi yang kurang senafas dengan situasi dan kondisi hidup kekinian.
Regenerasi petani padi, saat ini menjadi soal serius yang butuh penanganan sesegera mungkin. Masalahnya jadi semakin kompleks, manakala muncul fenomena baru di perdesaan, para orang tua yang sekarang berprofesi sebagai petani padi, melarang anak mereka untuk bekerja sebagai petani. Profesi petani padi terekam sangat tidak menjanjikan.
Para orang tua, yang sekarang bermata-pencaharian sebagai petani padi, lebih ikhlas menjual sawah yang dimilikinya agar anak-anak mereka terbiayai untuk menempuh sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Mereka meyakini, hanya dengan menempuh sekolah yang lebih tinggi, anak-anaknya akan terbebas dari masa depannya sebagai petani padi.