Oleh: Galih F. Qurbany
INDONESIA akan menghadapi tantangan yang signifikan dalam menjaga demokrasi dan stabilitas politik.
Hal ini dapat kita lihat dari indikasi adanya statemen dari tokoh politik nasional, terutama dari kelompok pengusung Capres Prabowo Subianto yang tergabung dalam Koalisi Indanesia Maju (KIM) dan kelompok pengusung Capres Ganjar Pranowo (belum ada nama koalisi), yang mewacanakan adanya koalisi antar dua kekuatan tersebut dalam menyambut pemilihan presiden (Pilpres) pada 14 Februari 2024.
Pada dasarnya, terbentuknya dua poros atau kubu yang kuat, dapat memicu persaingan yang ketat di antara kandidat-kandidat calon presiden. Namun pada saat yang sama, juga berpotensi meningkatkan risiko polarisasi politik dan disintegrasi sosial di Indonesia.
Hipotesis ini dapat dicermati dengan menunjukkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi dalam konteks Pilpres 2024. Pertama, terbentuknya dua poros atau kubu yang kuat dapat memperkukuh demokrasi karena calon presiden akan harus menawarkan program-program yang lebih komprehensif dan mencakup isu-isu yang beragam untuk menarik dukungan masyarakat secara umum.
Namun, pada saat yang sama, kemungkinan terbentuknya polarisasi politik sangat besar sebagaimana pernah terjadi pada pemilu sebelumnya di tahun 2019. Di mana, polarisasi masyarakat masih terasa hingga saat ini. Bahkan jika kondisi ini benar- benar akan terulang lagi, bisa jadi simbol polarisasi yang bernama Kadrun vs Cebong bertansformasi dan bermetamorfosis dalam bentuk dan sebutan berbeda namun tetap menimbulkan permbelahan yang signifikan dan sulit dihindarkan.