SEPERTINYA kita wajib menyadari bahwa siapun presidennya, grade negara ini hanya ada di level ketiga yang menyandang gelar sebagai negara berkembang. Nasib negara ini sangat bergantung pada negara-negara katagori maju atau negara adi daya. Karena rumus, untuk mengubah nasib, sedikitnya harus memiliki kewenangan dalam stuktur kekuasaan internasional. Lebih khusus pada soal ekonomi.
Perumpamaan hal di atas, semisal seorang profesor doktor politik yang menjabat sebagai ketua DPC suatu partai, sekalipun memilki gelar akademis yang mentereng, namun tidak bisa berbuat banyak saat bertemu pemimpin partai level provinsi yang hanya bergelar strata satu. Terlebih jika berhadapan ketua umum DPP sekalipun sang ketum hanya lulusan SLTA.
Gambaran lainya, kekuatan struktur kekuasaan telah menepatkan nasib presiden yang ada di negara-negara level ketiga pun tidak ubahnya “mandor kontrak” (outsourcing) termasuk untuk kebun subur makmur yang bernama Indonesia. Dan level “mandor kontrak” itu ada di bawah sang administratur (ADM), yaitu negara-negara maju, dan di pucuk pemimpin tertinggi dipegang negara adi kuasa.
Bukankah fakta, jika para pakar ekonomi kita pun senantiasa bicara, katanya “Krisis ekonomi negara itu diakibatkan oleh pengaruh buruknya ekonomi global”. Bermakna nasib negara ini sangat bergantung pada pasang surut kehidupan negara-negara kuat.
Karena hal itulah, hingga persolan ekonomi yang ditangani pemerintah menjadi jauh berbeda dibanding anggapan sederhana masyarakat awam yang menyatakan “Ekonomi itu ada barang, penjual dan pembeli maka di situ terjadilah transaksi”.