GOSIPGARUT.ID — Salah seorang keturunan dari keluarga besar Kampung Adat Dukuh, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut, Oos Supyadin menyebutkan bahwa tokoh masyarakat Kampung Dukuh Adat bersama Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) pada Desember 2023 melakukan pemetaan kembali wilayah ulayat kampung adat itu.
Dari pemetaan tersebut, para pemeta mencatat bahwa luas wilayah ulayat Kampung Adat Dukuh terbagi di tiga desa yakni Cijambe, Ciroyom, dan Karangsari. Total luasnya mencapai 5.427 hektare, termasuk lahan-lahan yang dikelola oleh Perhutani.
Sementara itu, masih menurut Oos, berdasarkan keterangan dari Wakil Administratur Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH), Nandang Herdiana, menyebutkan bahwa kawasan hutan Kampung Adat Garut berada dalam Kelompok Hutan Gunung Goong yang mencapai 912,53 hektare.
Hal ini merujuk pada SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 4755/2014. Dalam SK itu disebutkan wilayah Kampung Adat Dukuh masuk ke dalam Resor Pengelolaan Hutan (RPH) Cikelet, Bagian Kesatuan Pengelolaan Hutan (BKPH) Pameungpeuk, KPH Garut.
“Pada SK yang sama juga disebutkan, secara partisipatif, kawasan hutan dibagi dalam dua wilayah, Hutan Pangkuan Desa (HPD) yang masuk wilayah administratif Desa Cijambe dan lainnya masuk wilayah administratif Desa Ciroyom, Kecamatan Cikelet,” jelas pemerhati kesejarahan dan budaya ini.
Di sisi lain, tambah Oos, ada pandangan di masyarakat Cikelet merujuk cerita sejarah karomah Syekh Abdul Jalil di Kampung Adat Dukuh bahwa batas wilayah Dukuh adalah antara sungai Cipasarangan dengan sungai Cimangke yang artinya melingkupi tiga desa yakni Cijambe, Karangsari, dan Ciroyom wilayah Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut.
“Bagi saya jelas ini menarik dibahas,” tandas Oos. Di mana ada persepsi bahwa wilayah Kampung Adat Dukuh masuk dalam wilayah pengelolaan Perhutani seluas 912,53 Ha, juga ada pihak yang mengatasnamakan masyarakat Kampung Adat Dukuh yang telah memetakan atau melokalisir luas wilayah Kampung Adat Dukuh seluar 5.427 Ha.
“Dan pada persepsi lainnya justru cakupan wilayah Dukuh adalah daerah yang diapit dua sungai, yakni Cipasarangan dan Cimangke,” tambah dia.
Dengan tiga persepsi itu, ditegaskan Oos lalu muncul beberapa pertanyaan, pertama atas dasar apa adanya pemetaan wilayah kampung Adat Dukuh seluas 5.427 Ha, sedangkan di sisi lain telah banyak tanah di dalamnya yang sudah beratatus SHM alias Sertifikat Hak Milik?
Kedua, bagaimana konsekuensi hukum tanah antara tanah ulayat adat dengan tanah milik alias yang sudah SHM, ketiga bagaimana sejarahnya hutan larangan atau hutan produktif yang ada di sekitar Kampung Adat Dukuh bisa diambil alih atau dalam penguasaan pengelolaan Perhutani?
“Sebab jika merujuk sejarah mestinya pihak pemerintah, baik desa, camat, hingga bupati, mestinya mengajak ketua Kampung Adat Dukuh alias kuncen dalam memutuskan perihal hadir Perhutani masuk wilayah Kampung Adat Dukuh tersebut,” ujar Oos.
Keempat, adakah kompensasi dari keberadaan Perhutani di wilayah tanah ulayat Kampung Adat Dukuh Kecamatan Cikelet baik berupa fasilitas sosial, umum, pendidikan, keagamaan atau kesehatan dan kesejahteraan kepada masyarakat di sekitarnya?
Kelima, apakah selama ini pihak Pemkab Garut sudah mengakui keberadaan Kampung Adat Dukuh di Cikelet baik berupa keputusan bupati atau peraturan daerah (Perda)?
“Semoga bahasan ini dapat membuka mata hati kita khususnya masyarakat Kampung Adat Dukuh di Kecamatan Cikelet, tidak sekedar pada tuntutan oleh sementara pihak sebagaimana disebutkan tadi,” pungkas Oos. ***