GOSIPGARUT.ID — Saat wilayah lain di Kabupaten Garut dilanda kekeringan akibat musim kemarau, warga Desa Sindangprabu, Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut, malah tidak pernah kesulitan air bersih. Baik untuk keperluan sehari-hari maupun untuk mengairi lahan pertanian. Sebaliknya, air akan melimpah ruah justru di saat musim kemarau.
Musababnya, Desa Sindangprabu memiliki saluran air Garawangsa yang airnya bersumber dari Cikulawing, Cigangsa, dan Cinangka. Ketiga sumber air itu mengalir ke saluran air Garangwangsa sepanjang delapan kilometer.
Saluran air Garawangsa tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan air di Desa Sindangprabu, namun juga mampu memenuhi kebutuhan air di desa lainnya yaitu Desa Sindangratu, Linggamukti, Sukalaksana, dan Sindangmekar.
Saking melimpah, sumber air Cikulawing akhirnya dialihkan untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat Kecamatan Wanaraja. Sementara untuk memenuhi kebutuhan air Desa Sindangprabu hanya mengandalkan sumber air Cigangsa dan Cinangka.
Kepala Desa Sindangprabu, Asep Suryana, SH menuturkan meski yang menggunakan air dari saluran air Cikulawing, Cigangsa, dan Cinangka, ribuan kepala keluarga dan ratusan hektar lahan pertanian, namun sumber air tidak pernah surut apalagi kering.

“Dulu sumber air hanya digunakan mengairi lahan pertanian, ternyata setelah digunakan untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat, air tidak pernah surut apalagi sampai kering malah kian melimpah ruah,” tutur Asep Suryana, Jumat (23/6/2023).
Ia mengungkapkan, air dari saluran air Garawangsa sangat jernih dan mampu naik ke tempat yang lebih tinggi (bak penampungan) meski tidak menggunakan pompa air.
“Alhamudulillah, masyarakat Desa Sindangprabu tidak mengenal sumur gali, sumur artesis dan PDAM. Cukup membayar Rp5 ribu setiap bulan, masyarakat sudah bebas menggunakan air di rumah masing-masing,” jelas Asep.
Cikal bakal saluran air Garawangsa
Saluran air Garawangsa yang manfaatnya kini dirasakan ribuan warga di Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut, ternyata dibuat pada abad ke 18 oleh sesepuh Garawangsa yang bernama Raden Arya Rana Manggala atau dikenal dengan panggilan Ma (Mama) Iyung.
Berdasarkan penuturan Kepala Desa Sindangprabu, Ma Iyung adalah seorang keturunan Cirebon dan masih keturunan Prabu Siliwangi yang datang ke Garawangsa untuk menyebarkan agama Islam.
Raden Arya Rana Manggala saat itu ditemani oleh para pengiringnya yang setia untuk menyebarkan agama Islam. Salah satu kebutuhan pokok dalam menyebarkan agama Islam saat itu adalah air untuk bersuci, untuk kebutuhan hidup sehari-hari, dan mengairi lahan pertanian.

Ma Iyung lalu menyusuri hutan belantara ditemani seekor burung ciung. “Nah saat menyusuri kawasan hutan, sang burung ciung lah yang menjadi penunjuk arah Ma Iyung menemukan sumber air,” papar Asep.
Berkat kesaktian yang dimilikinya beserta para pengiringnya, Ma Iyung mulai memapas tanah membuat saluran air dari Cikulawing, Cigangsa, dan Cinangsa menembus hutan Mengger membuat terowongan hingga ke lahan pertanian sepanjang 300 meter.
Akhirnya, saluran air selesai dibuat. Sebagai wujud rasa syukur karena air bisa mengalir ke lahan pertanian dan perkampungan, saat itu diadakanlah syukuran yang ditandai sebuah batu besar sebagai monumennya.
Untuk mengenang jasa-jasa Ma Iyung, makam Ma Iyung di Blok Regol Desa Sindangprabu sengaja dibangun dengan replika burung ciung di pintu masuk.
“Berdasarkan adat dan kebiasaan secara turun temurun, kami biasa mengadakan syukuran setiap tahun sebagai wujud rasa syukur kepada Allah SWT dan mengenang jasa para sesepuh kami,” kata Asep.
Tujuannya, tambah dia, agar para generasi muda tidak melupakan jasa sesepuh yang sudah bersusah payah menembus hutan belantara saat itu agar seluruh anak cucunya tidak kesulitan air.
“Tujuan kami memelihara makam dan memelihara adat, semata wujud rasa syukur kepada Allah SWT dan rasa terimakasih atas pengorbanan sesepuh kami sehingga pengorbanan ratusan tahun lalu bisa kami rasakan manfaatnya hingga kini,” pungkas Asep. (Ai Karnengsih)