GOSIPGARUT.ID — Jalan poros desa yang menghubungkan Desa Pamalayan dengan Desa Cisewu, Kecamatan Cisewu, Kabupaten Garut, sejak Senin (11/11/2024) dilaporkan tidak bisa dilalui pengguna kendaraan akibat tertimbun lumpur bercampur pasir yang dimuntahkan lokasi galian pasir di Kampung Baru, Desa Pamalayan.
Sejumlah pengendara roda dua, terutama pelajar SMAN 12, MTSN 3 Garut, dan sekolah lainnya yang berdomisili dari Desa Pamalayan dan sekitarnya mengeluhkan kondisi tersebut karena mereka harus memutar arah dan menempuh jalan lebih jauh. Padahal, jalan poros desa itu merupakan jalan alternative yang sering digunakan oleh para pelajar, petani, dan pencari bambu.
Salah seorang wali siswa berinisal T (35) mengatakan, ia terpaksa mengeluarkan biaya lebih untuk bensin karena jarak tempuh sekolah anaknya kini lebih jauh.
“Jika jalan ini bisa diakses, saya biasa antar anak ke sekolah gunakan sepeda motor hanya 10 menit. Kini akibat tertutup lumpur, saya harus menempuh waktu 30 menit. Jika ini dibiarkan, ongkos transportasi makin membengkak,” katanya.
Ia menambahkan, lumpur yang menutup jalan diduga berasal dari aktivitas tambang pasir. Bukan kali ini saja, namun tertutupnya jalan oleh lumpur sudah sering terjadi, terutama ketika datangnya musim hujan. Menurut dia, pada kejadian terdahulu pihaknya sudah melaporkan aktivitas tambang tersebut kepada pihak berwenang.
“Setelah adanya mediasi dari pihak pemerintah Desa Pamalayan, Forkopimcam Cisewu hingga Babinsa, aktivitas galian sempat berhenti, namun kini kembali berlanjut,” terangnya.
Lima bangunan terancam longsor dan sumber air tercemar
Untuk diketahui, terdapat lima bangunan yang berjarak sekitar 100 meter dari lokasi galian pasir. Satu bangunan merupakan penggilingan padi, empat lainnya berupa rumah yang dihuni oleh empat kepala keluarga, salah satunya milik perempuan berusia 55 tahun bernama Karsinah.
Sejak akhir tahun 2022 ketika tambang pasir dibuka, setiap musim hujan Karsinah resah. Pasalnya, selain tanah 100 meter persegi miliknya telah tergusur, ia juga takut rumah miliknya dan rumah anak-anaknya terkena longsor.
Menurut Karsinah, jika hujan turun pada malam hari, kadang anaknya yang sudah berkeluarga mengungsi ke rumah kerabat.
“Kami tidak merasa tenang, berbagai upaya telah kami lakukan, termasuk melapor kepada pemerintah setempat. Namun sejauh ini selalu mengalami jalan buntu,” ungkapnya.
Selain tanah milik Karsinah, galian tambang pasir juga membuat sejumlah sawah milik kerabatnya tidak lagi produktif. Tapi mereka enggan melapor, mungkin karena takut.
Selain itu, lokasi galian juga sering mencemari sumber mata air Situ Leuweung. Padahal air tersebut dikonsumsi oleh sekitar 100 kepala keluarga, juga sudah hampir 3 tahun dikelola oleh warga setempat sebagai tempat wisata pemancingan.
“Jangan dulu menjanjikan galian pasir itu dihentikan, saya minta jajaran pemerintah Cisewu turun langsung ke lapangan dan melihat situasinya berani tidak?” kata Karsinah. (April P)