GOSIPGARUT.ID — Ida Suhada (80), warga Kampung Campaka,Desa Neglasari, Kecamatan Cisompet, Kabupaten Garut, sewaktu mudanya dikenal sebagai maestro kesenian tradisional di Kabupaten Garut. Namanya malang melintang di dunia pewayangan, calung, dan seni jaipongan.
Kecintaan Ida Suhada dengan kesenian tradisional membuatnya menumpahkan segenap pikiran dan tenaganya untuk terus melestarikan seni khas daerah Jawa Barat itu, meskipun kini kesenian tradisional semakin tergeser eksistensinya oleh musik modern. Para pelaku seni pun kian tergeser karena sepinya job.
Ida Suhada atau dipanggil Ida Etet, dulu kerap tampil dalam festival kesenian tradisional dan didapuk sebagai juri tingkat Kabupaten Garut.
Sayang, di sisa hidupnya ia harus menelan pil pahit. Tenaganya yang lemah karena usia dan sakit yang diderita sejak beberapa tahun terakhir membuat sang maestro hanya bisa duduk diam di kursi lapuk dengan alat bantu kaki/tongkat.
“Saya dulu seniman yang berjuang melestarikan kesenian tradisional seperti calung, wayang, jaipongan, agar bisa terus regenerasi, bisa ada penerusnya. Seluruh waktu dan pikiran saya curahkan untuk mengajar agar anak-anak muda mau mencintai dan melestarikan seni tradisional sebagai salah satu warisan yang menjadi jati diri kita, khususnya orang Sunda,” ungkap Ida, Selasa (15/4) di kediamannya di Kampung Campaka, Desa Neglasari, Kecamatan Cisompet, Kabupaten Garut.
“Tetapi rupanya pemerintah kurang mengapresiasi. Buktinya, kini saat saya sudah tidak bisa beraktivitas lagi, jangankan bantuan sosial untuk membantu pemenuhan kebutuhan hidup, bantuan untuk jaminan kesehatan gratis saja saya tidak punya. Padahal saya sering sakit karena faktor usia,” tambahnya, lirih.
Meski usianya hampir mendekati satu abad, Ida tetap antusias menceritakan kisahnya saat muda dulu.
“Beberapa tahun terakhir saya tidak bisa beraktivitas karena jatuh, untung ada grup calung yang peduli memberikan bantuan alat bantu kaki (tongkat) karena dari pemerintah mah luput tidak pernah ada,” jelas Ida.
Menurutnya, Ida Suhada kini tinggal bersama anak bungsunya yang juga ibu tunggal. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, anak Ida pun hanya bekerja serabutan.
Ida Suhada berharap, pemerintah mengapresiasi perjuangannya dulu dalam melestarikan kesenian tradisional dengan cara membantu pemenuhan biaya hidup dan jaminan kesehatan dirinya agar tidak terlalu membebani anaknya.
Berdasarkan informasi masyarakat, selain Ida Suhada tercatat ada beberapa ibu lansia tunggal yang juga tidak tersentuh bantuan seperti Sapti, Entin, dan Tati.
Miris memang, di antara lansia tunggal tersebut ada yang menghuni rumah tidak layak huni dan nyaris rubuh. (Ai Karnengsih)