GOSIPGARUT.ID — Seluas 251 hektare (Ha) lahan pertanian di Kabupaten Garut dilaporkan terdampak kekeringan. Dari seluas itu, yang dipastikan puso (gagal panen) mencapai 22 Ha.
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Garut, Beni Yoga, mengungkapkan bahwa hingga 30 Agustus 2023 kondisi kekeringan berkisar dari kekeringan ringan, sedang, berat hingga puso.
“Lahan pertanian yang sudah memasuki kondisi kekeringan tingkat ringan sudah mencapai 163 Ha, kekeringan tingkat sedang mencapai 70 Ha, kekeringan tingkat berat 36 Ha, dan lahan pertanian yang sudah dipastikan puso adalah sekitar 22 Ha. Sehingga total kekeringan dari berbagai kriteria adalah seluas 251 Ha,” ucap dia, kepada wartawan Selasa (5/9/2023).
Beni menambahkan, untuk kriteria dari kekeringan ringan sekitar 25 persen luas lahan telah terserang kekeringan. Sementara untuk kekeringan sedang, lahan yang sudah masuk dalam kondisi kekeringan yaitu mencapai hampir 50 persen. Sedangkan, untuk kondisi kekeringan berat yaitu tingkat kekeringa di lahan pertanian sudah mencapai di atas 75 persen dan mendekati kondisi puso, namun masih memiliki peluang untuk dipanen.
“Untuk yang puso, yang pusonya sudah tidak bisa ditolong lagi, dia pasti gagal panen begitu, karena hampir sebagian besar di atas 75 persen sudah terkena kekeringan, sehingga petani tidak bisa menghasilkan produksi sama sekali,” tandasnya.
Beni menerangkan, ada dua kecamatan di Kabupaten Garut yang lahan pertaniannya mengalami kondisi puso, di antaranya Kecamatan Pasirwangi seluas 7 Ha dan Kecamatan Selaawi seluas 15 Ha.
Ia juga menyoroti zonasi berdasarkan tingkat kekeringan, di mana beberapa wilayah telah mencapai zonasi merah, menunjukkan kekurangan sumber air yang signifikan. Untuk mengatasi situasi ini, perlunya jaminan hidup (jadup) untuk petani dan buruh tani, termasuk bantuan sembako.
“Yang puso 2 kecamatan itu sudah zonasi merah. Artinya di zonasi merah ini tidak ada sama sekali sumber air yang bisa dieksplorasi untuk menyelamatkan kondisi standing crop yang di lapangan,” ungkap Beni.
Ia melanjutkan, untuk antisipasi wilayah zonasi merah, harus terdapat jadup berupa sembako untuk mendukung para petani termasuk para buruh tani agar tetap memiliki cadangan pangan.
“Nah bagi buruh tani, kalau misalkan sudah tidak ada lahan yang bisa digarap resikonya dia kan tidak punya pekerjaan sama sekali begitu ya. Jadi tidak ada penghasilan sama sekali, artinya ini memang jadup, artinya kebutuhan sembako dan sebagainya,” kata Beni.
Lain halnya dengan zonasi kuning, papar dia, bahwa di wilayah tersebut terdapat sedikit sumber air namun masyarakat memiliki kesulitan untuk mengakses sumber air, baik itu karena jauh maupun ketinggian yang sulit dijangkau.
Sedangkan zonasi hijau, lanjut Beni, di wilayah tersebut terdapat irigasi teknis sehingga kebutuhan air masih terpenuhi meskipun debit air mulai berkurang karena kekeringan.
“Nah yang paling harus kita lakukan di zonasi hijau ini adalah penanganan atau pengendalian hama penyakit terutama hama, karena ini hama yang tadinya ada di zonasi merah sebarannya dengan di zonasi kuning ini akan bermigrasi ke daerah yang hijau,” ujarnya.
Beni mengimbau kepada seluruh petani di Kabupaten Garut, termasuk para petugas penyuluh, UPT Pertanian, yang berada di lapangan untuk segera melaksanakan sosialisasi secara masif agar masyarakat di lokasi-lokasi yang masih terdapat sumber air bisa memanfaatkan air tersebut dengan menanam tanaman yang tidak memerlukan air yang banyak.
“Jadi cari tanaman yang pendek, yang 30 hari, 40 hari bisa dipanen dalam rangka nanti mempertahankan kondisi ekonomi di daerah yang bersangkutan,” pungkasnya. (Yan AS)