GOSIPGARUT.ID — Aktivis Garut, Wa Ateng, mengatakan selama 10 tahun terakhir, Kabupaten Garut seolah terjebak dalam lingkaran permasalahan yang tak kunjung terselesaikan di bawah kepemimpinan Rudy Gunawan-Helmi Budiman.
Rezim ini, kata dia, dalam dua periode berturut-turut memimpin tak pernah mewujudkan janji-janji besar yang digaungkan selama kampanyenya. Janji-janji itu hanya menyisakan angan-angan kosong bagi masyarakat.
“Pembangunan yang katanya merata, nyatanya hanya merata di pusat kota, sementara daerah selatan Garut seperti terlupakan,” ujar Wa Ateng, Jumat (25/10/2024).
Ia menuturkan, salah satu kegagalan yang paling mencolok adalah masih tingginya angka kemiskinan di Garut. Berdasarkan data terbaru, sekitar 10,6% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan, sebuah angka yang seharusnya bisa ditekan jika ada kebijakan yang lebih proaktif dan strategis dari pemerintah daerah.
Upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang selama ini dikampanyekan, nyatanya belum berhasil membuahkan hasil signifikan. PAD Garut hanya sekitar Rp500 miliar, dan itu pun setengahnya harus dialokasikan kembali ke rumah sakit karena pendapatan terbesar datang dari sektor kesehatan.
“Kita punya potensi besar di sektor pertanian dan pariwisata, tapi lihat kenyataannya. Apa yang sudah dilakukan pemerintah daerah? Pajak dari hotel dan restoran belum dikelola maksimal. Tanah subur dan destinasi wisata hanya jadi latar belakang janji kampanye tanpa strategi yang jelas untuk benar-benar memanfaatkannya,” tegas Wa Ateng.
Menurutnya, kurangnya pengelolaan dan investasi yang tepat telah membuat Garut kehilangan kesempatan untuk mengembangkan PAD dari sektor-sektor lain di luar kesehatan.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Garut, kata Wa Ateng, juga masih tertinggal dibandingkan daerah lain di Jawa Barat. Meski ada sedikit peningkatan dalam angka harapan hidup, kualitas pendidikan dan layanan kesehatan tetap menjadi momok yang menghambat kemajuan.
Banyak sekolah yang kondisinya memprihatinkan, dengan fasilitas yang tidak memadai, sementara akses ke layanan kesehatan berkualitas masih menjadi isu serius di daerah pedesaan.
“Apa gunanya membangun gedung olahraga dan stadion megah kalau warganya masih sulit mendapatkan layanan kesehatan layak dan pendidikan berkualitas?” tutur aktivis berambut gondrong ini.
Wa Ateng menambahkan, isu lain yang menjadi perhatian adalah kondisi infrastruktur di Garut, terutama di wilayah selatan. Dari data yang ada, sekitar 185,62 km jalan masih dalam kondisi rusak parah. Situasi ini memperburuk aksesibilitas, menghambat distribusi barang, dan merugikan sektor pertanian yang menjadi andalan ekonomi sebagian besar masyarakat.
“Mereka bisa membangun stadion besar, tapi jalan untuk petani mengangkut hasil bumi malah dibiarkan rusak parah. Ini menunjukkan prioritas yang salah dalam pembangunan,” sindirnya.
Meski pengelolaan keuangan daerah sempat meraih predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), imbuh Wa Ateng, hal ini tidak serta-merta membungkam kritik soal transparansi. Banyak pihak meragukan profesionalisme dalam penggunaan anggaran, terutama terkait dugaan pembengkakan biaya proyek-proyek tertentu yang tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh.
Ia menegaskan, predikat WTP bukanlah jaminan bahwa uang rakyat digunakan dengan baik. pihaknya akan terus mendesak agar penggunaan anggaran dilakukan dengan transparan dan profesional, bukan hanya sekadar penghias laporan.
“Kegagalan-kegagalan ini diharapkan menjadi bahan refleksi bagi calon pemimpin berikutnya agar mampu membawa perubahan nyata dan tidak hanya mengejar pencitraan,” tandas Wa Ateng.
“Cukup sudah 10 tahun, kami tidak mau terus-menerus berada di bawah bayang-bayang pembangunan yang setengah hati. Garut butuh pemimpin yang paham permasalahan akar rumput dan mampu mengambil langkah tegas, bukan hanya sekadar mengulang janji manis yang tak pernah diwujudkan,” pungkasnya. ***