GOSIPGARUT.ID — Di Kabupaten Garut, tepatnya di Desa Tambakbaya, Kecamatan Cisurupan, ada sebuah kawasan wisata edukasi berkonsep budaya yang sengaja dibangun oleh pecinta seni budaya dan sejarah Sunda. Terletak di pinggir Jalan Raya Garut-Cisurupan, kawasan wisata berkonsep budaya itu dinamai Kampung Bareto yang artinya kampung di masa lalu.
Kampung Bareto menyuguhkan bangunan dengan arsitek tradisional. Bangunan-bangunan yang ada di kampung ini di antaranya kantor, museum, cottage, resto, bale pertemuan, ruang makan, mushola, mandi cuci kakus (MCK), dan area permainan anak tradisional.
Kehadiran Kampung Bareto bisa menjadi pengobat rindu bagi siapapun yang ingin melihat kondisi kehidupan masyarakat Sunda di masa lalu dan tempat wisata edukasi bagi para siswa.
Berdiri di atas lahan seluas 3 hektate (Ha) di Kampung Bareto ada bangunan yang dinamai Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Nama itu sendiri diambil dari nama enam Kerajaan Pajajaran disatukan menjadi nama Bale Pagelaran.
Bale Pagelaran diperuntukkan bagi para pengunjung yang ingin mempertunjukkan pagelaran seni dan budaya atau acara lain. Ada juga bangunan lain seperti ruang makan, alat tradisional menumbuk padi (lesung dan alu) serta alat-alat tradisional memanen padi.
Selain itu ada juga cottage yang dibangun dengan enam arsitek tradisional seperti jolopong, badak heuay, tagog anjing, parahu kumereb, julang ngapak, dan capit gunting.
Museum Garut Lingga Ratu sebagai tempat menyimpan pekakas yang sering digunakan masyarakat tradisional. Ada golok, setrika,alat tukar menukar berupa uang kuno, Al-Qur’an yang masih ditulis tangan, alat musik tradisional, alat memanen padi tradisional dan banyak lagi yang lainnya.
Di Kampung Bareto juga tersedia sarana dan alat permainan tradisional seperti galah, congklak, engrang, sorodot gaplok, sondah, panah, dan ketepel.
Bagi pengunjung yang ingin menikmati hidangan sambil melepas lelah ada Resto Sri Manganti dengan kopi racikan yang khas yang membuat pengunjung ketagihan. Untuk kenyamanan para pengunjung, pemilik Kampung Bareto juga menyediakan MCK dan mushola.

Lokasi yang sangat luas dengan view yang indah akan memanjakan para pengunjung yang datang karena seolah kembali kepada keadaan masyarakat tradisional. Hati pun akan tenang dan tentram apalagi melihat tawa riang anak-anak yang asyik bermain galah, engrang, congklak, sondah dan sebagainya.
Menurut keterangan pengelola Kampung Bareto yang juga seorang ahli sejarah dan Nilai Tradisional Kabupaten Garut, Drs.Warjita, Kampung Bareto lahir dari kecintaan pemilik sekaligus Ketua Yayasan Bumi Pusaka Parahyangan, Raden Cepi Kusuma, S.Pd. Ia memiliki kecintaan yang tinggi terhadap seni budaya dan sejarah Sunda.
“Beliau putra Garut, Alhamdulillah sukses menggeluti bisnis di Bekasi, pemilik Yayasan Bumi Pusaka Parahyangan dan Ketua Paguron Pencak Silat Pusaka Parahyangan. Awalnya beliau membangun Kampung Bareto di Bekasi namun kemudian beliau istilahnya kebo mulih pakandangan, kembali ke Garut dan membangun Kampung Bareto untuk mengobati kerinduan masyarakat terhadap kondisi masyarakat Sunda tradisional,” terang Warjita saat berbincang dengan GOSIPGARUT.ID, Selasa (10/10/2023).
Menurut keterangan Warjita, lokasi tempat dibangunnya Kampung Bareto tidak asal- asalan. Konon ada petunjuk khusus sehingga lokasi Kampung Bareto ada di Desa Tambakbaya, Kecamatan Cisurupan, Kabupaten Garut.
“Kampung Bareto dibangun pada bulan Maret 2022 dengan tujuan memelihara dan melestarikan seni budaya dan sejarah sunda sekaligus tempat wisata edukasi berkonsep budaya,” jelasnya.
Sejak dibangun, Kampung Bareto tidak hanya dikunjungi masyarakat Kabupaten Garut, namun para pengunjung dari luar Kabupaten Garut seperti Bandung, Bekasi dan Bogor yang mayoritas pelajar dan mahasiswa sering berkunjung dan melakukan edukasi.
Dengan harga tiket masuk Rp10 ribu, berwisata ke Kampung Bareto bisa memberikan nuansa lain dari sekedar jalan-jalan.
“Harga tiket yang sangat terjangkau tetapi pengunjung bisa teredukasi tentang bagaimana kehidupan masyarakat tradisional Sunda dan alat-alat yang digunakan masyarakat tradisional Sunda saat itu,” pungkasnya. (Ai Karnengsih)