GOSIPGARUT.ID — Tokoh masyarakat Garut Selatan meminta pemerintah pusat untuk mencabut kebijakan moratorium pemekaran daerah karena penerapan moratorium itu dinilai tidak ada landasan hukumnya atau cacat hukum.
Dedi Kurniawan, salah satu tokoh itu, menilai bahwa kebijakan moratorium pemekaran daerah cacat hukum, karena tidak mempunyai alasan juridis yang kuat selain dari asumsi-asumsi Menteri Keuangan (Menkeu) tentang kemampuan keuangan negara.
“Menurut kami, Menkeu bagaikan pribahasa ‘Buruk rupa cermin dibelah’, di mana kegagalan mengelola pendapatan dan piskal yang jadi korban adalah kami (masyarakat) di daerah,” ujar Dedi, saat dihubungi melalui sambungan telepon, Kamis (3/9/2020).
Ia juga menegaskan, bahwa moratorium pemekaran daerah cacat hukum, karena bertentangan dengan UU No 23 Tahun 2014 yang mengatur secara rinci tentang mekanisme pembentukan, penggabungan, dan penghapusan daerah.
“Pemekaran daerah jelas legal konstitusional, sementara moratorium pemekaran jelas cerminan kegagalan pemerintah dalam pengelolaan sistem keuangan negara,” kata Ketua Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) Kabupaten Garut ini.
Dedi memaparkan, sebagai warga Jawa Barat selama ini sudah diperlakukan tidak adil oleh pemerintah pusat dalam hal penataan daerah. Hal itu bisa dilihat dari jomplangnya jumlah kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang ada di Jabar.
“Jabar, dari jumlah penduduk 47 juta hanya memiliki 27 kabupaten/kota. Sementara Jateng berpenduduk 36 juta jumlah kabupaten/kota 36, dan Jatim jumlah penduduk 39 juta jumlah kabupaten/kota 39 pula. Jumlah penduduk di Jateng dan Jatim per kabupaten/kota rata-rata 1 juta orang,” terangnya.
Oleh karena itu, Dedi menegaskan, bahwa pihaknya meminta kepada Bupati Garut dan Gubernur Jawa Barat untuk lebih getol melobi pemerintah pusat, meyakinkan pemetintah pusat, bahwa pemekaran di Jawa Barat merupakan kebutuhan yang mendesak.
“Jawa Barat tertinggal jauh jika dibandingkan rata-rata provinsi yang ada di Pulau Jawa. Apalagi jika dibandingkan dengan rata-rata jumlah penduduk provinsi di luar Pulau Jawa,” tuturnya.
Jawa Barat, imbuh Dedi, mempunyai historis yang kuat dalam hal pergerakan. Untuk itu pemerintah pusat harus lebih peka, khususnya ke Jawa Barat, jangan sampai menimbulkan kekecewaan yang meluas dan menimbulkan reaksi yang melebar seperti di Aceh dan Papua.
Selain itu, Ketua Jabar Bergerak Kabupaten Garut ini pun mengulas soal UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang dikeluarkan untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan pernyelenggaraan pemerintahan daerah.
“Kedalaman UU tersebut mengatur juga tentang pemekaran daerah,” ungkapnya.
Dedi menuturkan, ada beberapa yang berubah dalam mekanisme dan tahapan pemekaran daerah, antara lain jika dalam UU 32 istilahnya daerah otononi baru (DOB) dibentuknya oleh Undang Undang, dan pemerintah daerah induk juga provinsi wajib melakukan pembinaan maupun anggaran selama dua tahun.
Namun berdasarkan UU 23 pemekaran daerah itu berproses, yaitu melalui daerah persiapan selama tiga tahun. Jika selama tiga tahun ada kemajuan yang signifikan, baik dalam pelayanan maupun penataan infrastruktur, maka dinaikkan statusnya menjadi DOB yang dibentuk oleh UU.
“Sementara dasar hukum daerah persiapan oleh peraturan pemerintah (PP),” ujar Dedi.
Celakanya, tambah dia, sampai hari ini PP yang mengatur tata urutan daerah persiapan dan PP tentang tatacara pembentukan dareah persiapan tidak kunjung terbit yang sudah memakan waktu enam tahun. Padahal PP itu harus terbit sebagai penjabaran dari UU selambat-lambatnya dua tahun.
“Ini merupakan catatan buruk dalam kehidupan bertatanegara kita. Sejak Mendagri Cahyo Kumolo sampai sekarang Tito Karnavian, PP tersebut tidak kunjung terbit,” pungkas Dedi. ***