GOSIPGARUT.ID — Kebijakan pemerintah untuk memastikan subsidi gas LPG 3 kg tepat sasaran menjadi salah satu langkah yang menuai kritik tajam dari berbagai pihak. Alih-alih memberikan solusi atas permasalahan distribusi subsidi yang kerap dianggap tidak efisien, kebijakan ini justru dinilai menambah beban masyarakat kecil, sekaligus memutus mata rantai ekonomi pengecer yang juga bagian dari rakyat kecil.
Pelarangan pengecer untuk menjual gas LPG 3 kg yang diterapkan oleh pemerintah dinilai memiliki kontradiksi yang mencolok antara niat dan dampaknya.
Menurut Wakil Ketua Kadin Garut, Galih F. Qurbany, subsidi pada hakikatnya adalah instrumen ekonomi yang dirancang untuk melindungi masyarakat rentan dari dampak kebijakan harga pasar yang tidak terjangkau.
Mengacu pada teori subsidi dari Musgrave dan Musgrave (1989), kata dia, subsidi harus memenuhi prinsip efisiensi, pemerataan, dan keberlanjutan. Dalam konteks ini, distribusi LPG 3 kg melalui pengecer sebenarnya mencerminkan bentuk subsidi yang adaptif terhadap pola konsumsi masyarakat kecil.
Namun, tambah Galih, kebijakan yang mewajibkan masyarakat membeli gas LPG langsung dari pangkalan resmi justru memperlihatkan absennya prinsip efisiensi tersebut.
“Masyarakat kecil kini harus menempuh jarak yang jauh ke pangkalan, mengeluarkan biaya tambahan untuk transportasi, dan menghadapi antrian panjang hanya untuk memperoleh kebutuhan dasarnya,” tandasnya.
Galih menegaskan bahwa kebijakan ini menunjukkan lemahnya pemahaman pemerintah terhadap kebutuhan masyarakat kecil.
“Gas LPG 3 kg adalah kebutuhan vital. Kebijakan yang menghapus peran pengecer sama saja dengan menutup akses masyarakat terhadap hak mereka. Ini tidak hanya memberatkan, tapi juga tidak manusiawi,” ujarnya.
Dari sisi ekonomi, menurut Galih, pelarangan pengecer juga berdampak serius pada rantai distribusi mikro. Para pengecer, yang sebagian besar merupakan pelaku usaha kecil, kehilangan sumber penghasilan mereka.
Keputusan pemerintah ini, tambah dia, seolah menutup mata terhadap kenyataan bahwa pengecer adalah bagian dari ekosistem ekonomi rakyat yang menopang kehidupan banyak keluarga.
“Kita tidak bisa bicara soal subsidi tanpa melihat dampaknya terhadap ekosistem ekonomi. Pemerintah harus paham bahwa pengecer ini bukan sekadar distributor, mereka adalah rakyat kecil yang bergantung pada usaha ini untuk bertahan hidup,” ucap Galih.
Salah satu alasan pemerintah memberlakukan kebijakan ini adalah untuk mengurangi penyimpangan harga dan memastikan subsidi LPG 3 kg benar-benar sampai kepada masyarakat miskin.
Namun, kenyataannya, kebijakan tersebut gagal memastikan harga eceran tertinggi (HET) sesuai dengan yang ditetapkan di lapangan. Sebab, banyak laporan yang menunjukkan bahwa harga di pangkalan masih jauh lebih tinggi dari HET.
“Dengan lemahnya pengawasan, kebijakan ini hanya memperparah persoalan tanpa memberikan solusi nyata,” kata Galih.
Ia menyampaikan, subsidi tepat sasaran adalah cita-cita yang ideal, tetapi implementasinya memerlukan data yang akurat, sistem distribusi yang efisien, dan pengawasan yang ketat.
“Digitalisasi distribusi, misalnya melalui sistem kartu elektronik berbasis subsidi, dapat menjadi alternatif yang lebih relevan ketimbang mencabut peran pengecer secara sepihak. Hal ini memungkinkan masyarakat kecil tetap memperoleh hak mereka dengan mudah tanpa harus menghadapi kendala geografis maupun teknis,” tutur Galih.
Ia juga menyoroti bahwa pemerintah harus mempertimbangkan aspek keberlanjutan kebijakan.
“Kita harus kembali kepada prinsip dasar subsidi, yaitu melindungi masyarakat kecil. Kebijakan ini tidak hanya merugikan rakyat kecil secara langsung, tetapi juga mengganggu stabilitas ekonomi mikro yang menopang banyak orang. Ini adalah bentuk pengabaian terhadap kewajiban negara untuk hadir di tengah rakyatnya,” pungkas Galih.
Tawaran solusi efektif
Untuk mengatasi dampak negatif kebijakan ini, pemerintah perlu segera mempertimbangkan sejumlah solusi efektif yang berbasis pada efisiensi distribusi, kemudahan akses, dan pengawasan subsidi.
1. Penerapan sistem kartu elektronik untuk distribusi LPG 3 kg
Pemerintah dapat mengembangkan sistem distribusi berbasis kartu elektronik yang terintegrasi dengan data kependudukan. Sistem ini memungkinkan subsidi LPG 3 kg hanya dapat diakses oleh masyarakat yang berhak, dengan meminimalkan potensi penyimpangan di tingkat distribusi. Dengan kartu ini, masyarakat dapat membeli LPG di berbagai titik, termasuk pengecer yang terdaftar secara resmi, tanpa harus bergantung pada pangkalan yang jauh dari tempat tinggal mereka.
2. Penguatan peran pengecer sebagai mitra resmi
Daripada menghilangkan peran pengecer, pemerintah dapat menjadikan mereka sebagai mitra resmi dalam distribusi LPG bersubsidi. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan dan sertifikasi kepada pengecer untuk memastikan mereka mengikuti aturan distribusi dan harga yang ditetapkan. Langkah ini tidak hanya mempertahankan mata pencaharian pengecer, tetapi juga memastikan masyarakat memiliki akses yang lebih luas ke LPG 3 kg.
3. Pengawasan yang ketat dan teknologi digital
Pemerintah perlu meningkatkan pengawasan melalui teknologi digital untuk memonitor distribusi dan penjualan LPG 3 kg. Aplikasi berbasis teknologi dapat digunakan untuk memantau harga di lapangan, memverifikasi konsumen yang berhak, dan memastikan suplai LPG mencukupi kebutuhan masyarakat.
4. Penyesuaian harga untuk mengurangi beban distribusi
Subsidi juga harus mencakup biaya distribusi untuk memastikan LPG 3 kg tersedia di seluruh wilayah tanpa penambahan beban harga. Dengan subsidi distribusi, harga LPG di daerah terpencil dapat tetap terjangkau tanpa memberatkan masyarakat kecil. ***