GOSIPGARUT.ID — Kegagalan rehabilitasi hutan jangan sampai kembali terulang di Kabupaten Garut. Masyarakat kini berharap agar perbaikan kawasan hutan tak bernasib sama seperti di Sukabumi, di mana alih fungsi lahan dan salah kelola rehabilitasi menjadi akar masalah yang selama ini terabaikan.
Dalam dua dekade terakhir, pembukaan hutan di Garut dan Sukabumi untuk pertambangan, pemukiman, hingga proyek infrastruktur menyebabkan hilangnya ribuan hektare tutupan hutan. Dampaknya kini terasa: banjir bandang, longsor, dan kekeringan silih berganti, mengancam kehidupan masyarakat di kaki Gunung Guntur dan kawasan Kamojang.
“Akar masalahnya bukan sekadar curah hujan, tapi rusaknya sistem ekologis akibat salah tanam dan alih fungsi lahan yang tidak terkendali,” ujar Ago Yoqie Iskandar, Ketua Perkumpulan Pesantren Ekologi dan Asosiasi Petani Bambu, kepada GOSIPGARUT.ID, Rabu (29/10/2025).
Akar pohon yang seharusnya menyerap air kini tak lagi ada. Tanah menjadi gersang dan mudah terkikis. Saat hujan deras, air langsung meluncur ke dataran rendah tanpa sempat diserap, menyebabkan banjir bandang seperti yang berulang kali melanda Sukabumi dan Garut.
Secara ekologis, hutan berfungsi sebagai penyangga sistem hidrologi: tajuk pohon memperlambat curah hujan, akar menahan air di dalam tanah, dan humus menjaga kelembapan. Namun, ketika pohon-pohon ditebang tanpa kendali, sistem alami itu rusak total. Akibatnya, kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim hujan menjadi dua sisi dari koin yang sama.
Bambu: Endemik Garut, Penyelamat Air
Menurut Ago Yoqie, kegagalan proyek penghijauan di masa lalu terjadi karena penanaman tidak memperhatikan endemik lokal. “Garut adalah kawasan gunung berapi, dan endemiknya adalah bambu. Ia cepat tumbuh, menyimpan air, dan mampu menyerap karbon lebih tinggi dibanding pohon lainnya,” ujarnya.
Bambu juga dikenal sebagai hasil hutan bukan kayu yang memiliki nilai ekonomi sekaligus ekologis. Sistem perakarannya yang kuat mampu menahan erosi, menyimpan air tanah, serta menstabilkan lereng-lereng curam di kawasan perbukitan Garut.
“Kalau banjir masih terjadi, itu bukti bahwa fungsi ekologis hutan belum benar-benar pulih. Solusinya bukan menanam pohon sembarangan, tapi mengembalikan hutan ke karakter aslinya: hutan bambu,” tegasnya.
Jalan Panjang Rehabilitasi: Dari DAS hingga Kesadaran Publik
Untuk keluar dari krisis ekologis, Ago Yoqie menegaskan perlunya rehabilitasi dan tata kelola hutan yang berkelanjutan. Pendekatan reaktif seperti normalisasi sungai dan pembangunan tanggul dianggap tidak cukup.
Beberapa langkah penting yang disarankan antara lain: Reforestasi bambu di kawasan hulu dan DAS Kamojang serta Gunung Guntur, pelibatan masyarakat adat dan lokal dalam pengelolaan hutan berbasis kearifan lokal.
Kemudian, integrasi tata ruang berbasis ekologi dalam pembangunan daerah, serta pendidikan lingkungan dan perubahan paradigma publik, bahwa hutan bukan sekadar sumber kayu, tetapi penjaga kehidupan.
Ago Yoqie mengatakan, banjir memang tak bisa dihapus sepenuhnya, tetapi dampaknya bisa dikendalikan jika manusia menata kembali hubungannya dengan alam.
“Menebang satu rumpun bambu mungkin tampak sepele. Tapi jika dilakukan jutaan kali, akibatnya adalah bencana yang meluluhlantakkan kehidupan,” tandasnya.
Garut, tambah Ago Yoqie, masih punya harapan. “Asalkan mulai hari ini, kita memulihkan yang rusak, melindungi yang tersisa, dan membangun tata kelola yang berpihak pada keberlanjutan. Karena ketika hutan bambu berdiri kokoh, air hujan akan tersimpan damai—bukan sebagai ancaman, melainkan berkah kehidupan,” pungkasnya. ***

.png)








