GOSIPGARUT.ID — Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diagung-agungkan Presiden Prabowo sebagai penyelamat generasi emas justru berubah jadi mimpi buruk. Di Jawa Barat, ribuan siswa bukannya sehat, malah tumbang massal setelah menyantap paket MBG. Bukan satu dua insiden, melainkan berulang, massif, dan merata. Hingga September 2025, data resmi mencatat 2.381 siswa di Jabar keracunan, menjadikan provinsi ini sebagai episentrum tragedi MBG nasional, dengan total lebih dari 5.000 korban di seluruh Indonesia.
Kasus terbaru datang dari Sumedang, Jumat (26/9/2025). Sebanyak 189 siswa di Kecamatan Tanjungsari dilarikan ke puskesmas setelah muntah, pusing, dan lemas usai mengonsumsi makanan MBG. Lima di antaranya harus dirujuk ke rumah sakit karena kondisinya cukup serius. Ironisnya, insiden ini hanya berselang dua hari setelah kasus Cipongkor, Bandung Barat, di mana 369 siswa keracunan, 112 di antaranya dirawat intensif. Sebelumnya, rangkaian insiden serupa menghantam Garut (657 siswa), Tasikmalaya (400 siswa), Bogor (210 siswa), dan Cianjur (165 siswa).
Polanya nyaris sama: makanan MBG masuk, anak-anak makan, lalu beberapa jam kemudian muntah massal, pusing, bahkan harus diinfus.
Antara Kelalaian dan Sabotase
Pengamat kebijakan strategis, Galih F. Qurbany, dari PAKIS (Pusat Analisa Kebijakan & Infirmasi Strategus) menilai fenomena ini mustahil dianggap sebagai kecelakaan teknis belaka. “Skalanya terlalu masif. Kita bicara ribuan anak, di banyak kabupaten, dengan pola identik. Kalau hanya soal higienitas dapur katering, kenapa distribusinya begitu luas dan berulang? Jangan-jangan ada faktor lain, bahkan kemungkinan sabotase politik,” tegas dia.
Menurut Galih, program MBG memang sejak awal rawan masalah karena rantai distribusinya panjang dan penuh celah. Vendor utama bisa menyubkontrakkan ke vendor kecil, lalu dilempar lagi ke pihak ketiga di level sekolah. Setiap celah itulah yang bisa dimasuki kecurangan: dari penggunaan bahan kedaluwarsa, pengurangan porsi gizi demi meraup untung, hingga manipulasi distribusi.
“Tetapi pola serangan beruntun ini juga mengindikasikan lebih dari sekadar kelalaian. Ada potensi MBG sedang diguncang secara sistematis. Ingat, Jawa Barat adalah barometer nasional. Kalau program runtuh di sini, narasi kegagalan pemerintah akan cepat menggelinding ke pusat,” tambah Galih.
Investigasi yang Setengah Hati
Hasil investigasi sementara Dinas Kesehatan memang menemukan adanya kontaminasi bakteri di beberapa sampel makanan MBG. Namun, publik merasa jawaban itu terlalu dangkal. Tidak ada kejelasan: vendor mana yang terlibat? Bagaimana pengawasan dilakukan? Siapa pejabat yang bertanggung jawab?
“Kalau pemerintah terus menutup rapat nama-nama vendor dan tidak transparan soal audit, masyarakat akan meyakini ada sesuatu yang sengaja disembunyikan. Dan itu jauh lebih berbahaya. Program bisa ambruk bukan hanya karena anak-anak keracunan, tapi karena kepercayaan publik hilang total,” ujar Galih.
Ia juga menyoroti lemahnya sistem pengawasan. Seharusnya, MBG yang menyangkut kesehatan jutaan anak memiliki standar ketat setara keamanan pangan militer atau rumah sakit. “Ini menyangkut nyawa. Tetapi faktanya, pengawasan lebih mirip formalitas birokratis ketimbang pengawalan serius. Pemerintah hanya sibuk seremonial, sementara anak-anak jadi kelinci percobaan,” katanya.
Risiko Politik: Dari Ikon Jadi Bumerang
Program MBG adalah ikon pemerintahan Prabowo, dijanjikan sejak masa kampanye sebagai warisan monumental. Namun kini, janji “Makan Bergizi Gratis” justru direduksi publik menjadi sindiran pedas: “Makan Beracun Gratis.”
“Ini bukan sekadar lelucon sinis. Kalau pemerintah gagal menyelamatkan program ini, pukulannya langsung ke legitimasi Presiden. MBG bisa berubah jadi simbol kegagalan, bukan keberhasilan,” tegas Galih.
Menurutnya, risiko politik yang ditanggung rezim jauh lebih besar daripada sekadar dampak kesehatan. Ribuan keluarga korban keracunan akan menyimpan trauma, dan media sosial telah menjadikannya komoditas politik yang mudah digoreng lawan. “Bayangkan, orang tua akan mengingat: anak saya muntah karena program Presiden. Itu membekas, dan sangat sulit dipulihkan,” imbuhnya.
Di tengah kabut ketidakjelasan ini, Galih mengajak masyarakat lebih waspada dan kritis. Orangtua jangan pasif, guru harus cepat tanggap, dan media jangan berhenti menelusuri rantai vendor yang diduga menjadi sarang kecurangan.
“Negara wajib menjawab pertanyaan besar ini: ribuan anak sakit karena kelalaian, atau memang ada pihak yang sengaja menyabotase MBG? Selama jawaban itu tidak diberikan secara jujur dan transparan, tragedi ini akan terus bergulir, dan kecurigaan publik akan makin mengeras,” pungkasnya.
Kini, publik menunggu langkah tegas pemerintah. Apakah berani membuka semua data vendor, menindak tegas mafia katering, sekaligus menutup celah sabotase? Atau justru membiarkan MBG semakin dicap sebagai “Makan Beracun Gratis”—sebuah bencana politik sekaligus tragedi kemanusiaan di abad pendidikan Indonesia. ***

.png)











