GOSIPGARUT.ID — Program makan bergizi gratis bagi siswa dinilai sebagai terobosan penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan generasi muda. Namun, sejumlah masalah dalam pengelolaannya di lapangan membuat program ini rawan penyimpangan.
IRC for Reform menilai, distribusi yang tidak merata, pengawasan lemah, potensi penyalahgunaan anggaran, hingga kasus keracunan massal siswa menjadi bukti bahwa tata kelola program masih jauh dari ideal.
“Program ini seharusnya langsung dikelola oleh komite sekolah melalui kantin sekolah. Dengan begitu, pengawasan lebih mudah, distribusi lebih efektif, dan keterlibatan orang tua maupun guru bisa semakin nyata,” ujar Hasanuddin, Direktur IRC for Reform sekaligus Koordinator Siaga 98, Selasa (24/9/2025).
Menurut Hasanuddin, model ini jauh lebih efisien dibandingkan pola sentralistik. Sekolah dapat menyesuaikan menu dengan kebutuhan lokal sekaligus selera siswa, sehingga meminimalkan pemborosan. Selain itu, kolaborasi orang tua, guru, dan pihak sekolah diyakini akan menciptakan rasa tanggung jawab bersama.
Meski begitu, peran pemerintah tetap dianggap vital. Badan Gizi Nasional (BGN) perlu hadir sebagai regulator sekaligus pengawas, mulai dari penetapan standar gizi, kontrol mutu, hingga evaluasi penggunaan anggaran.
“Pengawasan tetap harus ketat. Pemerintah menjaga standar, sementara eksekusi harian dilakukan sekolah. Dengan begitu, fleksibilitas terjaga, tapi akuntabilitas tidak hilang,” tambahnya.
Sejalan dengan itu, IRC menyinggung peran komite sekolah sebagaimana diatur dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016. Komite sekolah bukan hanya penasihat, tetapi juga pendukung, pengawas, sekaligus penghubung antara masyarakat, sekolah, dan pemerintah.
IRC meyakini, jika pengelolaan program ini ditempatkan di tingkat sekolah dengan supervisi kuat dari pemerintah, manfaat makan bergizi gratis akan lebih maksimal, sekaligus menutup celah penyimpangan anggaran. ***

.png)











